Minggu, 08 Januari 2017

al-Ahwal,Muraqabah,Takut



Nama                           : Rizki Ansyari Nasution
Nim                             : 72154055
Jurusan                        : Sistem Informasi 1/Semester 3
Fakultas                       : Sains & Teknologi
Universitas                  : UIN Sumatra Utara
Dosen Pengampu        : Dr. Ja’far, M.A
Matakuliah                  : Akhlak Tasawuf



Definisi Cinta, Rida, Al-Maqam lainnya

I.          Buku Utama         : Gerbang Tasawuf

Identitas Buku     : (Ja'far, Gerbang Tasawuf(Medan : Perdana Publishing,   2016)

Sub 1                    : al-Ahwal

Sub 2                    : Muraqabah

Sub 3                    : Takut



A.      Mengenal al-Ahwal

Sebagian sufi pernah menyebutkan beberapa contoh al-ahwal adalah al-muraqabah, al-khauf, al-raja, dan al-syawaq. Berbeda dari al-maqamat yang diraih dari hasil usaha salik secara mandiri dengan melakukan ibadah, mujahadah dan riyadhah, al-ahwal tidak diraih secara mandiri, melainkan anugerah dari Allah Swt (Ja’far.2016:85).

1.        Al-Muraqabah

Ajaran muraqabah merupakan salah satu bentuk dari al-ahwal. Kata muraqabah tidak digunakan Alquran, meskipun kata yang seakar dengannya dapat ditemukan anatara lain raqiba, dan semua kata yang seakar dengan al-muraqabah disebut sebanyak 24 kali (Ja’far.2016:80-83).

2.        Takut (al-khauf)

Hakikat takut (al-khauf) dijelaskan secara berulang kali dalam Alquran, dan dapat ditemukan dalam hadis dan atsar. Para sufi telah membicarakan masalah takut (al-khauf) dalam karya-karya mereka. Menurut al-Qusyairi “ makna takut kepada Allah Swt adalah takut kepada siksaannya baik didunia maupun akhirat”.




Kesimpulan

Muqarrabah adalah suatu keyakinan dimana  seseorang merasa bahwa dirinya selalu diawasi  oleh Allah SWT. Sedangkan Khauf bearti seorang hamba hanya takut kepada Allah SWT. Dan tidak takut kepada selainnya.




Buku 2                                    : Gerbang Tasawuf (Buku Pembanding)

Identitas Buku       

Penulis                                     : Prof. Dr. M. Solihin M.Ag

Penerbit                                   : Pustaka Setia



1.       Waspada dan Mawas Diri (muhasabah dan muraqabah)

Waspada dan mawas diri adalah dua hal yang saling berkaitan erat. Banyak sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dapat diartikan meyakini bahwa Allah SWT. mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat takut dan tunduk kepada Allah. Sedangkan muraqabah yaitu memikirkan dengan cermat apakah perbuatan kita sehari-hari telah sesuai atau menyimpang dari yang dikehendaki-Nya. (Sholihin: 2008, 83)



2.       Berharap dan takut (Raja’ dan Khauf)

Menurut Sholihin (2008: 84) Dalam kalangan sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling memengaruhi. Raja’ adalah berharap atau bersikap optimis yang berarti perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Hal ini telah dijelaskan juga dalam Q.S Al-Baqarah ayat 218.

Khauf merupakan kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti yang akan menimpa diri pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba dari perbuatan  maksiat dan mendorong untuk senantiasa berada dalam ketaatan.(Sholihin: 2008, 85)



Kesimpulan

Waspada yaitu meyakini bahwa Allah SWT. mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati. Muraqabah adalah memikirkan dengan cermat apakah perbuatan kita sehari-hari telah sesuai atau menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.  Raja’ berarti perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Khauf merupakan kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti yang akan menimpa diri pada masa yang akan datang.

Perbandingan

Dalam buku 1 yaitu buku utama yang ditulis oleh Dr. Ja’far menerangkan muraqabah dan khauf secara terperinci dengan menghadirkan beberapa hadis dan ayat dalam penjelasannya. Sedang dalam buku 2 yaitu buku pembandiing dari Prof. Dr. Sholihin M.Ag menerangkan muraqabah dengan muhasabah, dan khauf dengan raja’ sebagai suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari bagian tersebut.





Kamis, 05 Januari 2017

Cinta, Ridha dan Maqam Lainnya



Nama                           : Rizki Ansyari Nasution
Nim                             : 72154055
Jurusan                        : Sistem Informasi 1/Semester 3
Fakultas                       : Sains & Teknologi
Universitas                  : UIN Sumatra Utara
Dosen Pengampu        : Dr. Ja’far, M.A
Matakuliah                  : Akhlak Tasawuf

Definisi Cinta, Rida, Al-Maqam lainnya
I.          Buku Utama         : Gerbang Tasawuf
Identitas Buku     : (Ja'far, Gerbang Tasawuf(Medan : Perdana Publishing,   2016)
Sub 1                    : Definisi Cinta (al-mahabbah)
Sub 2                    : Definisi Rida (al-ridha)
Sub 3                    : Maqam lainnya

A.      Definisi Cinta (al-mahabbah)
Menurut Al-Ghazali, al mahabbah adalah al maqam sebelum rida. Kaum sufi mendasari ajaran mereka tentang cinta dengan Alquran, hadis dan atsar. Sedangkan makna al-mahabbah dalam tasawuf dapat dilihat dari ucapan kaum sufi. Junaid al-Bahdad, misalnya, berkata “cinta adalah masukan sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintai”(Ja’far.2016:78-80).
B.     Defini Rida (al-ridha)
Kata rida berasal dari kata radhiya,yardha,ridhwanan yang artinya “ senang, puas, memilih, persetujuan, memilih, menyenangkan, dan menerima”. Dalam kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”. Kata rida dari berbagai bentuk disebut didalam Alquran sebanyak 73 kali.
Harits al-Muhasibi berkata rida adalah tenangnya hati atas berlakunya hukum”. Al nuri berkata, “ rida adalah senangnya hati karena menerima keputusan pahit”. (Ja’far.2016:80-83)
C.     Al-Maqam lainnya
Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih masih dapat mencapai maqam seperti makrifat (al-ma’rifat), dan menegaskan bahwa al-ridha bukan maqam tertinggi. Sebagian sufi membagi makrifat menjadi dua, yakni al-ma’rifat haq yang berarti penegasan keesaan Allah atas sifat-sifat yang dikemukakan-Nya dan ma’qrifat haqiqah yang bermakna makrifat yang tidak bisa dicapai dengan sarana apapun, sebab sifatnya tidak dapat ditembus ketuhanan-nya tidak dapat dipahami (Ja’far.2016:84).
Kesimpulan
Disimpulkan bahwa Cinta, Rida dan Maqam lainnya merupakan beberapa akhir dari tingkatan maqam untuk mendekatkan diri kepada Allah dimana Cinta yang dimaksud adalah senantiasa berzikir kepada Allah mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada Allah dan rida yaitu rela atau menerima. Dan maqam yang lainnya yang dimaksud makrifat, karena para sufi berpendapat bahwa maqam yang paling akhir itu adalah makrifat yaitu derajat tertinggi pengetahuan tentang Allah Swt.

Buku Utama                : Hakekat Tasawuf
Identitas Buku                        : (Syaikh, Hakekat Tasawuf(Jakarta Timur : Qisthi Press,
                                       2010)
Sub 1                           : Cinta
Sub 2                           : Ridha
A.      Cinta
Cinta adalah perasaan yang memenuhi hati orang-orang yang mencintai. Yang di dalam hanyalah perasaan yang menggebu-gebu. Semua yang dikatakan tentang cinta hanyalah sekadar keterangan tentang pengaruhnya, ungkapan tentang buahnya dan penjelasanya tentang sebab-sebabnya (Syaikh.2010:277).
1.      Tingkatan-tingkatan Cinta
-     Al-Illaqah (gantungan). Dinamakan demikian karena tergantungnya hati pada Sang Kekasih.
-    Al-Iradah (keinginan), yaitu condongnya hati kepada Sang kekasih dan usahanya untuk mencari-Nya.
-  Ash-Shababah (ketercurahan), yaitu tercurahnya hati pada Sang Kekasih, sehingga pemiliknya tidak dapat menguasainya, sebagaimana tercurahnya air di puncak gunung.
- Al-Gharam (cinta yang menyala-nyalah), yaitu cinta yang selalu ada dalam hati dan tidak dapat meninggalkan. Dia selalu menetap, sebagaimana seseorang kekasih yang selalu menetapkan pada kekasihnya.
-    Al-Widad (kelembutan), yaitu kesucian, ketulusan dan isi dari cinta.
-   Asy-Syaghaf (cinta yang mendalam), yaitu sampainya cinta ke dalam lubuk hati
-  Al-Isyq (kerinduan), yaitu cinta yang berlebihan dan pemiliknya di khawatirkan karenya.
-  At-Tayammum, yaitu memperbudak dan merendahkan diri
-  At-Ta’abbud (penghambaan), yaitu tingkatan di atas At-Tayammum. Sebab, seorang hamba tidak lagi mempunyai apa-apa pada dirinya.
- Al-Khullah ini hanya dimiliki oleh dua khalil (kekasih), yaitu Ibrahim a.s dan Muhammad s.a.w Al-khullah artinya cinta yang memenuhi jiwa dan hati orang yang mencintai, sehingga tidak ada lagi tempat di hatinyya selainya untuk yang dicintainya (Syaikh.2010:286-287).
B.     Ridha
Para ulama mendefinisikan ridha dengan definisi yang bermacam-macam. Setiap orang  berbicara sesuai dengan kapasitas dan kedudukannya. Adapun definisi yang paling penting adalah apa yang dikatakan oleh Sayid, “ Ridha adalah sikap lapang hati ketika pahitnya ketetapan Allah”. (Syaikh.2010:251-252).
Ridha merupakan kondisi hati. Jika seorang mukmin dapat merealisasikannya, maka dia akan mampu menerima semua kejadian yang ada di dunia dan berbagai macam bencana dengan iman yang mantap,  jiwa yang tenteram dan hati yang tenang.
Kesimpulan
-          Cinta adalah perasaan yang memenuhi hati orang-orang yang mencintai.
-          Ridha merupakan kondisi hati.
Perbandingan
Dari pengertian yang di dapat dari kedua buku bisa di simpulkan bahwa buku pertama karangan Dr. Ja’far, MA menjelaskan cinta, ridha, dari pendapat para sufi-sufi yang popular  dan berhubungan dengan maqam, sedangkan dari buku karangan Syaikh Abdul Qadir Isa hanya menjelas kan garis-garis besar dari cinta, ridha.








Sabtu, 24 Desember 2016

Abdus Samad Al-Palimbani



Nama                           : Rizki Ansyari Nasution
Nim                             : 72154055
Jurusan                        : Sistem Informasi 1/Semester 3
Fakultas                       : Sains & Teknologi
Universitas                  : UIN Sumatra Utara
Dosen Pengampu        : Dr. Ja’far, M.A
Matakuliah                  : Akhlak Tasawuf

ABDUS SAMAD AL-PALIMBANI
I.          Buku Utama         : Sufi Nusantara
Identitas Buku     : (Miftah, Sufi Nusantara(Jogjakarta : Ar-Ruzz, 2013)
Sub 1                    : Sketsa Biografi Abdus Samad Al-Palimbani
Sub 2                    : Karya Intelektualnya

A.      Sketsa Biografi Abdus Samad Al-Palimbani
Nama lengkapnya adalah Abdus Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani, tetatpi sumber-sumber Arab menyembutnya dengan Sayyid Abdus Samad bin Abdurrahman Al-Jawi. Menurut Tarikh Salasilah Negeri Kedah, Al-Palimbani dilahirkan sekitar 1116/1704. Ayahnya adalah Abdullah Jalil bin Abdul Wahab bin Ahmad Al-Madani, seorang ulama sufi di San’a dan pernah menjabat sebagai mufti  besar di Kerajaan Kedah, tetapi kemudian menikah dengan wanita Palembang, Raden Ranti.
Meski masa hidupnya tidak diketahui dengan angka-angka pasti, Azra dan Cuzwain memperkirakan bahwa rentang hidup Abdus Samad Al-Palimbani anatar 1704-1785 M, ketika ia menyelesaikan kitab Siyar al-Salikin ila Ibadah Rabb-al-Alamin. Azra menyimpulkan bahwa sebagian besar kehidupannya Al-Palimbani dihabiskan di Arabia. Bahkan, dengan memerhatikan sumber-sumber Arab, Azra menyakini bahwa Al-Palimbani juga meninggal di Arabia, tempat ia menulis dan mengajar. Meski Al-Palimbani menetap dan mencurahkan ilmunya di Arabia, ia tidak melupakan tradisi Islam Nusatra. Hal ini dibuktikan dengan dituliskannya kitab-kitab yang berbahasa Melayu yang tentunya diperuntukan untuk masyarakat Melayu sebagaimana yang akan kita lihat nanti.
Di antara guru-guru Al-Palimbani yang paling terkenal adalah Muhammad bin Abd Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abd’ Al-Mun’im Al-Damanhuri, Ibrahim Al-Ra’is Al-Zamzami (1698-1780), Muhammad Murad Al-Husayni (1759-1791), Muhammad bin Al-Jawhari Al-Mishri (1720-1772), Atha’illah Al-Azhari Al-Makki. Al-Palimbani memiliki teman sepeguruan yang berasal dari Nusantara yang beljar bersama-sama di Arabia, yaitu Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abd Al-Wahhab Al-Bugis, Abd Al-Rahman Al-Jawi, dan Dawud Al-Fatani. Persinggungannya dengan ulama-ulama di Timur Tengah tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap pandangannya tentang bidang-bidang agama Islam khususnya fiqih dan tasawuf, terutama mendamaikan anatar tasawuf yang pandangan heterodok dengan para penantangnya, seperti yang dilakukan oleh Abdurrauf Al-Sinkili sehingga Bruinessen mengatakan bahwa Abdus Samad Al-Palimbani barng kali merupakan yang paling terpelajar di sepanjang sejarah Nusantara (Miftah.2013: 91-93).
B.     Karya Intelektualnya
Semasa hidupnya, Al-Palimbani adalah ulama yang produktif menghasilkan karya-karya tulis, baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Arab. Karya-karya tersebut berkaitan dengan persoalan tauhid,tasawuf, dan juga anjuran untuk berhijab. Menurut Drewes menambahkan sebanyak satu buah sehingga kesemuanya berjumlah delapan buah (Miftah.2013: 93-94).
Kitab-kitab tersetbut adalah sebagai berikut
1.      Hidayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin ditulis pada 1778 M. Kitab ini berbahasa Melayu dan merupakan terjemahan dari Bidayat al-Hidayat karya Imam Al-Ghazali.
2.      Sair al-Salikin ila Ibadat Rabb al-Alamin pada 1779 M, adalah kitab berbahasa Melayu dan merupakan terjemahan dari kitab Ihya Ulum al-Din karya Imam Al-Ghazali. Akan tetapi, Al-Palimbani tidak sekedar menerjemahkan kedua kitab Al-Ghazali begitu saja, namun ia mencoba untuk memberikan wacana dan warna yang lain. Sebab, ternyata dalam kitab Ibn Arabi, Al-Jili, dan Syamsudin Al-Sumatrani. Bahkan, dalam Sair al-Salikin juga disebutkan ajaran martabat tujuh dari Al-Burhanpuri. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa Al-Palimbani mencoba mengompromikan anatar tasawuf ghazali dengan tasawuf arabian.
3.      Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Imam al-Mu’minin berbahasa Melayu yang dituliskan pada 1774 M. Kitab ini ditulis agar masyarakat tidak tersesat dan tidak salah paham yang menyimpang dan sesat seperti aliran wujudiyah mulhid. Menurut kesimpulan Drewes, kitab ini ditulis atas permintaan Sultan Palembang (Sultan Najamudin atau Sultan Bahaudin).
4.      Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadha’ il al-Jihad fi Sabilillah wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah. Kitab ini berbahasa Arab dan berisi anjuran untuk jihad fi sabilillah menghadapi penjajah. Kitab ini ditulis sebagai jawaban adanya penjajahan oleh Bangsa Barat yang memang pada masa tersebut sedang terjadi di Nusantara.
5.      Zuhrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tawhid, dituliskan dalam bahasa Melayu berisi tentang kalimat-kalimat tauhid diselesaikan di Makkah pada 1764 M.
6.      al-Urwat al-Wusqa wa Silsilat Uli al-Ittiqa, karya tulis berbahasa Arab yang berisikan tentang wirid-wirid.
7.      Ratib Abdal-Samad
8.      Zadd al-Muttaqin fi Tawhid Rabb al-Alamin, karya tulis ini adalah ringkasan ajaran tauhid yang diajarkan oleh Syeikh Muhammad Al-Saman.